Fbhis.umsida.ac.id – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, bisnis online menjadi primadona baru bagi pelaku usaha dan konsumen.
Transaksi kini dapat dilakukan hanya dengan sentuhan jari, dari membeli pakaian hingga memesan makanan.
Namun, kemudahan ini membawa tantangan baru: meningkatnya kasus penipuan daring yang mengancam keamanan konsumen.
Di era serba digital ini, perlindungan konsumen bukan lagi sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dikutip dari Kominfo.go.id, sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 17 ribu aduan terkait penipuan daring, mulai dari modus jual-beli fiktif, phishing, hingga pencurian identitas.
Lonjakan ini menunjukkan bahwa perkembangan bisnis online perlu diimbangi dengan kesadaran dan langkah perlindungan yang matang.
Baca juga: Dr Sumartik Tegaskan Pentingnya Knowledge Sharing dalam Membangun Kampus Berdampak
Maraknya Penipuan Daring dan Modus yang Berkembang
Fenomena penipuan daring bukan lagi hal baru, namun cara yang digunakan semakin kreatif dan sulit dikenali.

Modus yang paling umum adalah toko online palsu yang menawarkan harga di bawah pasaran untuk menarik pembeli.
Ada juga penjual yang memanfaatkan platform resmi, namun setelah transaksi terjadi, barang tidak pernah dikirim.
Selain itu, muncul praktik phishing dengan mengirim tautan palsu yang menyerupai situs resmi untuk mencuri data pribadi atau finansial korban.
Pelaku memanfaatkan lemahnya verifikasi konsumen, ketidaktahuan, serta rendahnya literasi digital untuk menjalankan aksinya.
Dikutip dari laporan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), rendahnya literasi konsumen menjadi salah satu faktor utama maraknya kasus ini.
Banyak masyarakat belum terbiasa melakukan pengecekan latar belakang penjual atau memahami tanda-tanda transaksi yang mencurigakan.
Akibatnya, konsumen sering kali menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan siber.
Lihat juga: Ketika Kritik Diancam Pasal Kebebasan Berekspresi Terkubur di Balik UU ITE
Tantangan Penegakan Hukum di Dunia Maya
Penegakan hukum terhadap kasus penipuan daring menghadapi tantangan unik.
Identitas pelaku sering kali disamarkan melalui akun palsu, nomor telepon sekali pakai, atau alamat pengiriman fiktif.

Batas yurisdiksi antarnegara juga menjadi kendala besar jika pelaku berada di luar negeri.
Meski Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah mengatur sanksi bagi pelaku penipuan daring, proses penegakan hukum kerap memakan waktu lama.
Aparat penegak hukum harus berkoordinasi dengan penyedia platform, bank, dan penyedia layanan internet untuk menelusuri aliran dana serta identitas pelaku.
Selain aspek hukum, masih banyak masyarakat yang memilih untuk tidak melaporkan kasus penipuan yang dialaminya.
Alasan yang sering muncul adalah nominal kerugian yang dianggap kecil atau rasa pesimis terhadap proses hukum.
Padahal, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laporan dari masyarakat merupakan langkah awal yang penting untuk memutus rantai kejahatan daring.
Peran Edukasi dan Literasi Digital untuk Perlindungan Konsumen
Di tengah tantangan penegakan hukum, edukasi menjadi garda terdepan dalam melindungi konsumen.
Literasi digital yang kuat dapat membantu masyarakat mengenali potensi penipuan sebelum menjadi korban.
Edukasi ini mencakup cara memeriksa keaslian toko online, membaca ulasan pembeli, memverifikasi rekening penjual, hingga mengenali pola komunikasi yang mencurigakan.
Pemerintah, platform e-commerce, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengedukasi konsumen.
Program kampanye literasi digital seperti Siberkreasi dari Kominfo menjadi salah satu contoh upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Platform belanja daring juga dapat memperkuat sistem verifikasi penjual, menyediakan kanal pelaporan cepat, dan memberikan label keamanan pada toko yang telah terverifikasi.
Bagi konsumen, langkah sederhana seperti menggunakan metode pembayaran aman (escrow), menghindari transfer langsung ke rekening pribadi penjual, serta menyimpan bukti transaksi dapat menjadi bentuk perlindungan mandiri.
Edukasi yang berkelanjutan akan membentuk budaya belanja online yang aman, sehingga manfaat bisnis daring dapat dinikmati tanpa rasa khawatir.
Bisnis online telah mengubah cara masyarakat bertransaksi, namun juga membawa risiko baru yang tidak boleh diabaikan.
Penipuan daring yang semakin canggih menuntut kolaborasi semua pihak baik dari pemerintah, pelaku usaha, platform, dan masyarakat untuk memperkuat perlindungan konsumen.
Dengan penegakan hukum yang tegas dan edukasi yang masif, konsumen dapat lebih percaya diri menikmati kemudahan belanja digital tanpa terjebak dalam jerat penipuan.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah