Fbhis.umsida.ac.id – Asuransi mutual menawarkan konsep kepemilikan bersama antara perusahaan dan pemegang polis. Dalam sistem ini, pemegang polis berperan sebagai pelanggan sekaligus pemilik perusahaan.
Prinsip gotong royong dan solidaritas menjadi fondasi utama dalam operasionalnya. Model ini seharusnya memberikan rasa aman karena keuntungan perusahaan dapat dikembalikan kepada pemegang polis dalam bentuk dividen atau premi yang lebih rendah.
Asuransi, menurut Konsep Ideal dan Realitas di Lapangan
Namun, idealisme ini masih jauh dari kenyataan. Studi yang dilakukan oleh Lidya Shery Muis dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo menyoroti bahwa konsep mutualisme dalam asuransi di Indonesia belum mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi pemegang polis.

Peraturan khusus mengenai asuransi mutual baru secara resmi diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Sebelumnya, tidak ada regulasi yang secara eksplisit mengatur operasional, perlindungan hukum, dan pengelolaan keuangan asuransi mutual di Indonesia.
Kasus AJB Bumiputera 1912, satu-satunya perusahaan asuransi mutual di Indonesia, mencerminkan tantangan besar dalam penerapan konsep ini.
Perusahaan yang telah beroperasi lebih dari satu abad mengalami gagal bayar dalam jumlah besar, menimbulkan keresahan di kalangan pemegang polis yang mayoritas berasal dari kelompok menengah ke bawah, seperti pegawai negeri, guru, dan petani.
Ribuan klaim yang belum terbayarkan mencerminkan lemahnya tata kelola dan sistem perlindungan pemegang polis.
Baca juga: Menjelajahi Masa Depan Akuntansi: Inovasi Blockchain dalam Praktik Keuangan
Hambatan Hukum dan Manajemen yang Buruk
Penelitian ini menyoroti kendala regulasi sebagai salah satu penyebab utama ketidakmampuan asuransi mutual dalam melindungi hak pemegang polis.

Berbeda dengan perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang memiliki sistem saham, AJB Bumiputera tidak dapat dengan mudah melakukan restrukturisasi keuangan atau menarik investor untuk menyelamatkan perusahaan saat mengalami krisis.
Selain itu, sistem tata kelola yang buruk menjadi faktor utama penyebab krisis di AJB Bumiputera. Pergantian manajemen yang terlalu sering, praktik nepotisme, dan pengambilan keputusan yang tidak transparan membuat perusahaan rentan terhadap masalah keuangan.
Kurangnya pengawasan ketat dan mekanisme internal yang jelas semakin memperburuk situasi, hingga akhirnya perusahaan tidak mampu membayar klaim pemegang polis.
Dalam beberapa tahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencoba melakukan restrukturisasi untuk menyelamatkan AJB Bumiputera.
Namun, sistem kepemilikan berbasis keanggotaan justru menghambat langkah-langkah penyelamatan akibat resistensi internal.
OJK bahkan sempat membentuk pengelola khusus untuk mengambil alih manajemen perusahaan, tetapi upaya ini belum membuahkan hasil maksimal. Ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara regulator dan pemegang polis semakin memperumit situasi.
Lihat juga: Strategi Perusahaan dalam Menjaga Kinerja dan Nilai di Tengah Krisis Inflasi
Perlukah Demutualisasi atau Reformasi Regulasi?
Situasi yang dihadapi AJB Bumiputera 1912 menimbulkan dilema besar: apakah asuransi mutual masih relevan dalam sistem keuangan Indonesia saat ini?
Beberapa ahli berpendapat bahwa demutualisasi, yakni mengubah struktur perusahaan menjadi perseroan terbatas dengan kepemilikan saham, dapat menjadi solusi jangka panjang.
Dengan sistem ini, perusahaan lebih fleksibel dalam menarik investor dan mengelola keuangan secara profesional.
Namun, di sisi lain, konsep mutualisme tetap memiliki nilai sosial yang tinggi. Prinsip gotong royong dan keadilan sosial yang diusung oleh sistem ini sejalan dengan semangat ekonomi Pancasila.
Oleh karena itu, solusi yang lebih moderat bukanlah menghilangkan konsep mutualisme, melainkan melakukan reformasi regulasi yang lebih ketat untuk mengatur tata kelola dan perlindungan hukum pemegang polis.
Langkah konkret yang dapat diambil meliputi perbaikan regulasi mengenai transparansi keuangan, peningkatan mekanisme pengawasan dari OJK, serta memperjelas hak dan kewajiban pemegang polis sebagai pemilik perusahaan.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang asuransi mutual perlu diperkuat agar calon pemegang polis memahami risiko serta manfaat sistem ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan asuransi mutual di Indonesia membutuhkan revisi mendalam dalam aspek regulasi, tata kelola, dan perlindungan pemegang polis.
Tanpa reformasi yang signifikan, konsep mutualisme yang ideal ini hanya akan menjadi teori tanpa realisasi yang benar-benar melindungi hak konsumen.
Jika tidak ada perbaikan, bukan tidak mungkin kasus serupa AJB Bumiputera akan kembali terjadi di masa mendatang, merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan perlindungan finansial dari asuransi.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah