Fbhis.umsida.ac.id – Perkembangan media sosial telah mengubah cara manusia berkomunikasi, menyampaikan pendapat, dan membentuk opini publik.
Di kalangan mahasiswa, ruang digital tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga medium diskusi, ekspresi diri, dan advokasi sosial.
Namun, seiring dengan meningkatnya partisipasi digital, muncul fenomena yang semakin sering terjadi dan menimbulkan perdebatan, yakni budaya cancel culture.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana ruang publik digital mengalami pergeseran fungsi.
Jürgen Habermas dalam konsep public sphere menekankan bahwa ruang publik idealnya menjadi arena diskusi rasional yang berorientasi pada pencarian pemahaman bersama.
Dalam pandangan Habermas, komunikasi publik seharusnya berlangsung secara dialogis dengan mengedepankan argumentasi yang rasional, bukan tekanan massa.
Namun, praktik cancel culture justru kerap bergerak ke arah sebaliknya, di mana emosi kolektif, amarah publik, dan logika viralitas menggantikan proses diskusi yang reflektif.
Secara umum, cancel culture merujuk pada praktik kolektif untuk menarik dukungan atau mengecam individu akibat pernyataan atau tindakan tertentu yang dianggap bermasalah.
Proses ini sering kali berlangsung cepat, masif, dan berulang, tanpa memberi ruang yang cukup bagi klarifikasi, dialog, atau pembelaan diri.
Dalam banyak kasus, konteks persoalan tereduksi menjadi potongan narasi yang disederhanakan demi kepentingan opini publik.
Dalam perspektif sosiologis, Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui institusi formal seperti negara atau hukum, melainkan juga melalui praktik sosial sehari-hari.
Foucault menegaskan bahwa kuasa beroperasi melalui mekanisme pengawasan dan normalisasi. Dalam konteks media sosial, mekanisme tersebut tampak jelas melalui penghakiman publik, pelabelan moral, serta tekanan sosial digital yang diarahkan kepada individu atau kelompok tertentu.
Di lingkungan perkuliahan, mahasiswa berada pada posisi yang relatif rentan terhadap mekanisme tersebut.
Media sosial yang awalnya berfungsi sebagai ruang ekspresi dan pertukaran gagasan dapat berubah menjadi alat kontrol sosial yang membungkam.
Ketika perbedaan pandangan langsung disambut kecaman massal, mahasiswa cenderung memilih untuk membatasi diri.
Kondisi ini berimplikasi langsung terhadap kebebasan akademik.
Padahal, menurut John Stuart Mill, kebebasan berpendapat merupakan syarat utama bagi berkembangnya kebenaran, karena hanya melalui pertukaran gagasan yang bebas suatu pemikiran dapat diuji, dikritik, dan disempurnakan.
Baca juga: Kripto 2025: dari Aset Spekulatif Menuju Infrastruktur dan 2026 Berpotensi Jadi Tahun Uji Kualitas
Dampak Cancel Culture di Lingkungan Mahasiswa

Dampak psikologis dari cancel culture tidak dapat diabaikan. Tekanan mental, rasa cemas, dan ketakutan untuk berbicara menjadi konsekuensi yang sering muncul.
Mahasiswa yang menjadi sasaran kecaman massal berpotensi mengalami stres akademik, penurunan kepercayaan diri, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan kualitas pengalaman belajar mahasiswa.
Dalam kajian komunikasi, Elisabeth Noelle-Neumann melalui teori Spiral of Silence menjelaskan bahwa individu cenderung memilih diam ketika merasa pandangannya tidak sejalan dengan opini mayoritas.
Teori ini relevan untuk memahami mengapa banyak mahasiswa enggan terlibat dalam diskusi publik digital.
Bukan karena mereka tidak memiliki pandangan kritis, melainkan karena adanya ketakutan terhadap sanksi sosial berupa kecaman, pengucilan, atau stigmatisasi digital.
Selain berdampak secara psikologis, cancel culture juga memengaruhi relasi sosial di lingkungan kampus.
Praktik pelabelan dan pengucilan dapat merusak solidaritas akademik yang seharusnya dibangun atas dasar saling menghormati dan keterbukaan intelektual.
Alih-alih menjadi ruang dialog, perbedaan pandangan justru berubah menjadi arena penghakiman sepihak.
Dalam perspektif etika komunikasi, Richard Johannesen menekankan bahwa komunikasi yang etis harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap martabat manusia.
Ketika komunikasi digunakan sebagai alat penghukuman massal, nilai etis tersebut kehilangan esensinya.
Dari sudut pandang hukum, cancel culture juga bertentangan dengan prinsip keadilan prosedural.
Dalam sistem hukum modern, setiap individu berhak atas proses yang adil sebelum dijatuhi sanksi.
Namun, penghakiman publik di media sosial sering kali mengabaikan prinsip tersebut.
Lawrence Lessig dalam kajian hukum siber menyatakan bahwa arsitektur digital dan norma sosial di ruang daring memiliki kekuatan regulatif yang setara dengan hukum formal.
Dengan demikian, tekanan publik di media sosial dapat berfungsi sebagai bentuk “hukuman sosial”, meskipun tidak dijatuhkan oleh lembaga hukum.
Bagi mahasiswa, dampak jangka panjang dari fenomena ini berkaitan erat dengan reputasi dan jejak digital.
Dalam era ekonomi digital, reputasi merupakan aset yang sangat bernilai.
Kesalahan kecil yang diviralkan dapat terus membayangi individu dalam perjalanan akademik maupun profesionalnya.
Tanpa mekanisme pemulihan yang adil, ruang digital berisiko menjadi ruang yang tidak ramah bagi proses belajar, refleksi, dan pertumbuhan intelektual.
Lebih jauh, budaya cancel culture juga berpotensi menciptakan iklim akademik yang tidak sehat.
Mahasiswa mungkin lebih fokus menjaga citra dan menunjukkan kehati-hatian berlebihan daripada mengembangkan keberanian berpikir kritis.
Padahal, dunia akademik seharusnya menjadi ruang aman untuk menguji gagasan, termasuk gagasan yang belum matang atau bersifat kontroversial, selama disampaikan secara bertanggung jawab.
Dalam konteks yang lebih luas, cancel culture tidak dapat dilepaskan dari perubahan pola komunikasi generasi digital.
Budaya serba cepat, instan, dan berbasis respons emosional membuat proses berpikir reflektif sering terpinggirkan.
Media sosial mendorong pengguna untuk segera bereaksi, memberi penilaian, dan berpihak, bahkan sebelum memahami persoalan secara utuh.
Pola ini membentuk kebiasaan komunikasi yang minim empati serta kurang mempertimbangkan dampak jangka panjang dari sebuah pernyataan publik.
Bagi mahasiswa, situasi tersebut menghadirkan tantangan tersendiri.
Sebagai kelompok terdidik yang sedang membangun kapasitas intelektual dan moral, mahasiswa dituntut untuk tidak terjebak dalam arus reaksi kolektif yang simplistik.
Namun, tekanan sosial di ruang digital sering kali membuat keberanian untuk berpikir kritis justru melemah.
Ketika kesalahan diperlakukan sebagai aib permanen, ruang untuk belajar dari kekeliruan menjadi semakin sempit.
Padahal, proses pendidikan sejatinya tidak terlepas dari kesalahan, koreksi, dan refleksi yang berkelanjutan.
Selain itu, cancel culture juga berpotensi memperdalam polarisasi sosial.
Ketika individu atau kelompok yang “dibatalkan” sepenuhnya dikeluarkan dari ruang dialog, peluang rekonsiliasi dan perubahan sikap menjadi tertutup.
Lihat juga: Panggung Miss Jawa Timur 2025 Antarkan Mahasiswi Umsida Raih 2nd Runner Up
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memperkuat budaya saling curiga dan melemahkan kohesi sosial.
Alih-alih mendorong keadilan sosial, praktik pengucilan digital justru berisiko melahirkan siklus konflik yang terus berulang tanpa penyelesaian yang substantif.
Situasi ini menegaskan pentingnya peran institusi pendidikan dalam merespons dinamika ruang digital.
Kampus tidak dapat bersikap pasif terhadap praktik penghakiman massal yang berpotensi merusak iklim akademik.
Diperlukan upaya sistematis untuk mendorong penyelesaian persoalan melalui dialog, klarifikasi, dan mekanisme etika institusional, bukan melalui tekanan opini publik di media sosial.
Selain itu, penguatan literasi digital yang kritis perlu menjadi bagian dari proses pendidikan.
Literasi digital tidak hanya berkaitan dengan kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kesadaran etis, kemampuan memahami konteks, serta tanggung jawab sosial dalam berkomunikasi.
Mahasiswa perlu dibekali pemahaman bahwa kebebasan berekspresi tidak identik dengan kebebasan untuk menghakimi.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas.
Prinsip ini relevan dalam membangun budaya komunikasi digital di lingkungan kampus.
Ruang digital seharusnya menjadi ruang belajar kolektif yang mendorong refleksi, bukan arena penghukuman yang melanggengkan ketakutan dan pembungkaman.
Sebagai Fakultas Bisnis, Hukum, dan Ilmu Sosial, kajian terhadap fenomena cancel culture menjadi penting untuk mendorong mahasiswa memahami dinamika kuasa, etika, dan tanggung jawab dalam komunikasi digital.
Cancel culture seharusnya menjadi refleksi kolektif untuk memperbaiki praktik komunikasi dan meningkatkan kesadaran sosial, bukan alat untuk menghakimi tanpa proses.
Pada akhirnya, tantangan utama dalam menghadapi budaya cancel culture bukanlah membatasi kritik atau mengekang kebebasan berekspresi, melainkan membangun kedewasaan dalam mengelola perbedaan di ruang digital.
Kebebasan berbicara yang sehat menuntut tanggung jawab moral, kesadaran konteks, serta penghormatan terhadap martabat manusia.
Tanpa keseimbangan tersebut, ruang digital berpotensi berubah menjadi arena pembungkaman baru.
Oleh karena itu, mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki tanggung jawab etis untuk menjaga agar ruang digital tetap menjadi ruang belajar bersama, ruang dialog, dan ruang pertumbuhan intelektual, bukan sekadar arena penghakiman massal.
Penulis: Wildan R


















