Fbhis.umsida.ac.id – Asuransi mutual hadir dengan konsep kepemilikan bersama yang menekankan nilai gotong royong dan solidaritas. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemegang polis masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam aspek perlindungan hukum.
Upaya perlindungan preventif telah diatur dalam berbagai regulasi, seperti POJK No.1/POJK.05/2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi serta PP No.87/2019 tentang tata kelola perusahaan asuransi mutual.
Aturan ini bertujuan memastikan stabilitas keuangan perusahaan asuransi dan melindungi hak pemegang polis sejak awal.
Baca juga: Strategi Perusahaan dalam Menjaga Kinerja dan Nilai di Tengah Krisis Inflasi
Regulasi dan Tantangan Implementasi Perlindungan Preventif
Sayangnya, implementasi aturan ini belum sepenuhnya efektif. Studi yang dilakukan oleh Lidya Shery Muis dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengungkapkan bahwa regulasi yang ada masih menghadapi berbagai kendala dalam praktiknya.

Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pengawasan ketat terhadap tata kelola perusahaan asuransi mutual. Kasus AJB Bumiputera 1912 menjadi contoh nyata di mana kelemahan dalam penerapan regulasi menyebabkan perusahaan mengalami gagal bayar dalam jumlah besar.
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan serta sulitnya melakukan restrukturisasi keuangan membuat perlindungan preventif yang telah diatur belum mampu berjalan secara optimal.
Lihat juga: Menjelajahi Masa Depan Akuntansi: Inovasi Blockchain dalam Praktik Keuangan
Mekanisme Represif yang Belum Efektif
Ketika perusahaan asuransi gagal memenuhi kewajibannya, pemegang polis seharusnya memiliki mekanisme hukum yang dapat diandalkan untuk menuntut hak mereka.

Namun, dalam kenyataannya, mekanisme perlindungan represif masih sangat terbatas. Dalam kasus AJB Bumiputera, banyak pemegang polis yang kesulitan mendapatkan klaim mereka meskipun telah ada upaya hukum yang dilakukan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah berupaya melakukan restrukturasi terhadap AJB Bumiputera, tetapi proses ini terhambat oleh sifat unik perusahaan asuransi mutual.
Tidak seperti perseroan terbatas (PT) yang dapat dengan mudah menarik investor baru atau melakukan restrukturisasi kepemilikan melalui saham, kepemilikan dalam asuransi mutual berbasis keanggotaan.
Hal ini membuat upaya penyelamatan perusahaan semakin sulit, sementara pemegang polis tidak memiliki opsi yang jelas untuk mendapatkan kembali hak mereka.
Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan dalam perlindungan represif adalah mekanisme kebangkrutan atau demutualisasi.
Dalam beberapa negara lain, demutualisasi telah menjadi solusi bagi perusahaan asuransi mutual yang mengalami kesulitan keuangan.
Dengan mengubah struktur perusahaan menjadi perseroan terbatas, perusahaan dapat lebih fleksibel dalam mendapatkan suntikan modal dari investor.
Namun, hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang diambil untuk mengarah ke opsi ini dalam kasus AJB Bumiputera.
Peran Kebijakan Pemerintah dan OJK dalam Menjamin Perlindungan
Dalam menghadapi permasalahan ini, peran pemerintah dan OJK menjadi sangat krusial. OJK telah melakukan berbagai langkah untuk memastikan keberlangsungan AJB Bumiputera, termasuk membentuk pengelola khusus untuk mengambil alih manajemen perusahaan.
Namun, langkah ini belum membuahkan hasil yang signifikan karena masih adanya resistensi internal dalam perusahaan. Sebagai regulator, OJK perlu memperkuat pengawasan terhadap tata kelola perusahaan asuransi mutual.
Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih progresif dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemegang polis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mempercepat implementasi program penjaminan polis yang telah diamanatkan dalam UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Program ini diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi pemegang polis apabila perusahaan mengalami gagal bayar di masa mendatang. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan keuangan perusahaan asuransi mutual perlu ditingkatkan.
Pemerintah dapat mewajibkan perusahaan asuransi mutual untuk menyusun laporan keuangan yang lebih terbuka dan dapat diakses oleh publik, sehingga pemegang polis memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi keuangan perusahaan yang mereka ikuti.
Keberadaan asuransi mutual di Indonesia seharusnya menjadi solusi perlindungan keuangan bagi masyarakat, bukan malah menjadi sumber ketidakpastian.
Reformasi regulasi dan penguatan pengawasan dari pemerintah serta OJK sangat diperlukan agar konsep mutualisme dapat berjalan sesuai idealismenya dan benar-benar memberikan perlindungan bagi pemegang polis.
Tanpa langkah nyata, perlindungan hukum dalam industri asuransi mutual hanya akan menjadi teori tanpa implementasi yang nyata bagi konsumen.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah