Fbhis.umsida.ac.id – Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya. Mereka hidup dalam dunia yang serba cepat, saling terhubung, dan penuh paparan budaya luar melalui media sosial, film, musik, hingga gaya hidup. Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan yang cukup serius: apakah Gen Z mengalami krisis identitas budaya? Apakah akar budaya lokal mulai tergerus oleh modernitas global?
Budaya Global dan Gaya Hidup Digital
Generasi Z adalah generasi digital-native yang sejak kecil sudah terbiasa dengan internet, media sosial, dan teknologi. Mereka tumbuh dengan akses instan terhadap informasi dari berbagai penjuru dunia.

Budaya Korea, Barat, hingga Jepang dengan mudah dikonsumsi dalam bentuk tontonan, musik, atau tren fashion. Tidak sedikit dari mereka yang lebih mengenal budaya populer luar negeri daripada budaya lokalnya sendiri.
Kehidupan sehari-hari Gen Z juga mencerminkan gaya hidup yang sangat terpengaruh oleh globalisasi. Pilihan gaya berpakaian, makanan, hingga cara berkomunikasi sering kali mengadopsi gaya modern yang mendunia.
Dalam beberapa kasus, penggunaan bahasa asing seperti bahasa Inggris dianggap lebih keren atau relevan dibanding bahasa ibu.
Hal ini secara perlahan menciptakan jarak antara generasi muda dan tradisi lokal yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Baca juga: Fenomena FOMO: Apakah Gen Z Takut Ketinggalan Tren?
Globalisasi memang memberikan banyak keuntungan, seperti keterbukaan pikiran, akses informasi, dan koneksi lintas budaya.
Namun di sisi lain, paparan budaya luar yang tidak dibarengi dengan pemahaman akan budaya sendiri berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan dalam pembentukan identitas budaya.
Pergeseran Nilai dan Tradisi Lokal
Salah satu dampak globalisasi yang paling nyata adalah pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan sosial Gen Z.
Nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap tradisi sering kali bergeser menjadi nilai individualisme, pragmatisme, dan fleksibilitas.
Upacara adat, kesenian tradisional, dan kearifan lokal mulai kehilangan peminat di kalangan muda karena dianggap kuno atau tidak relevan.
Tak sedikit anak muda yang merasa lebih dekat dengan budaya luar daripada budaya leluhur mereka sendiri. Mereka mungkin lebih antusias menonton konser artis internasional ketimbang menonton pertunjukan seni tradisional.
Bahkan dalam beberapa konteks, budaya lokal dianggap sebagai sesuatu yang “tertinggal” atau “tidak modern.”
Fenomena ini bukan sekadar perubahan selera, melainkan perubahan identitas.
Lihat juga: Mengenal “Silent Communication” Ala Gen Z Lewat Streak Pet di TikTok
Ketika generasi muda tidak lagi merasa memiliki keterikatan emosional dan kultural dengan warisan budaya lokal, maka di situlah krisis identitas budaya mulai terbentuk.
Budaya tidak hanya sekadar pakaian atau bahasa, tetapi juga cara berpikir, nilai hidup, dan rasa memiliki terhadap suatu komunitas.
Membangun Keseimbangan Identitas Budaya
Meski arus globalisasi tak bisa dibendung, bukan berarti identitas budaya lokal harus dilupakan.

Justru tantangan bagi Gen Z adalah bagaimana membangun identitas yang mampu menyeimbangkan antara keterbukaan global dan akar budaya lokal.
Mereka tidak harus memilih salah satu, tetapi bisa mengadopsi yang baik dari luar sambil tetap menjaga jati diri budaya sendiri.
Peran pendidikan, media, keluarga, dan komunitas sangat penting dalam menghidupkan kembali semangat cinta budaya lokal.
Pelestarian budaya tidak hanya lewat seremoni atau simbol, tetapi bisa melalui pendekatan kreatif yang relevan dengan dunia digital.
Misalnya, kesenian daerah bisa dikemas dalam bentuk konten media sosial, atau bahasa daerah diajarkan dalam format yang menyenangkan.
Gen Z juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen pelestari budaya dengan pendekatan yang segar dan inovatif.
Mereka bisa memadukan nilai-nilai tradisional dengan gaya komunikasi modern sehingga budaya lokal tidak hanya lestari, tetapi juga relevan dan menarik bagi generasi mereka sendiri.
Krisis identitas budaya di kalangan Gen Z adalah fenomena yang nyata, namun bukan sesuatu yang tak bisa diatasi.
Dalam dunia yang saling terhubung, generasi ini justru memiliki peluang untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Dengan kesadaran, kreativitas, dan rasa memiliki, Gen Z dapat merajut kembali hubungan mereka dengan budaya lokal tanpa menolak pengaruh positif dari luar.
Identitas yang kuat bukan hanya tentang memilih budaya mana yang diikuti, tetapi tentang memahami, mencintai, dan memaknai akar budaya sendiri di tengah dunia yang terus berubah.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah