Fbhis.umsida.ac.id – Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto dinilai sebagai langkah strategis untuk merespons dinamika politik dan ekonomi yang berkembang di masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Dr Sufyanto MSi, dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), saat dimintai pandangannya mengenai dampak reshuffle kabinet terhadap stabilitas pemerintahan
Presiden Prabowo Subianto melakukan perombakan jajaran atau reshuffle kabinet pada 5 jajaran menteri di Kabinet Merah Putih.
Reshuffle Kabinet kepada 5 Menteri, Reshuffle ini merupakan kali kedua selama Prabowo menjabat sebagai presiden. Beberapa menteri tersebut adalah:
Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan yang dipimpin oleh Budi Gunawan.
Kementerian Pemuda dan Olahraga yang dipimpin oleh Dito Ariotedjo.
Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani, diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa.
Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang dipimpin Abdul Kadir Karding diganti oleh Mukhtarudin.
Kementerian Koperasi yang dipimpin oleh Budi Arie Setiadi diganti Fery Juliantono.
Dari lima menteri yang diganti, Presiden Prabowo langsung melantik dua menteri yang sudah ada nama penggantinya.
Selain itu, Presiden juga melantik pimpinan kementerian baru yakni Menteri Haji dan Umroh yang dipimpin oleh Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) sebagai Menteri Haji dan Umrah dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakil Menteri Haji dan Umrah.
Pelantikan tersebut dilakukan di Istana Negara Jakarta pada Senin, (8/9/2025).
Baca juga: Peran Media Pers dalam Pengawasan Peradilan: Edukasi Publik oleh Dosen Hukum Umsida
Reshuffle Kabinet sebagai Hak Konstitusional Presiden
Menurut Dr Sufy, konstitusi memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Hal ini karena menteri pada dasarnya adalah pembantu presiden dalam menjalankan mandat Undang-Undang Dasar.
“Mengganti menteri itu memang prerogatif presiden. Karena beban pekerjaan yang diemban presiden sangat banyak, maka ia diberi hak untuk memilih pembantu yang dianggap tepat. Dalam konstitusi disebut sebagai menteri,” jelasnya
Namun, kata Dr Sufy, yang menarik adalah perombakan kali ini tercatat sebagai reshuffle kabinet kedua dalam masa pemerintahan Prabowo–Gibran yang baru berjalan kurang dari satu tahun, tepatnya mulai dilantik pada 20 Oktober tahun lalu.
Beberapa posisi penting seperti Menko Polhukam dan Menteri Pemuda dan Olahraga masih dijabat secara interim.
Sementara itu, pergantian Menteri Keuangan dan Menteri Koperasi dinilai cukup strategis karena terkait langsung dengan sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Bagi Dr Sufyanto, reshuffle kabinet di periode ini tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan presiden untuk mempercepat kinerja.
Ia menilai langkah itu wajar dan sah secara konstitusional selama Presiden membutuhkan kecepatan kinerja yang dimandatkan padanya.
“Apakah itu masalah? Tidak masalah, karena memungkinkan presiden membutuhkan percepatan kerja sesuai mandat yang diembannya,” imbuh dosen Prodi Ilmu Komunikasi itu.
Lihat juga: 17+8 Tuntutan Rakyat Dibahas DPR RI Hari ini, Apa Saja Isinya?
Faktor Ekonomi dan Penurunan Kepercayaan Publik
Dr Sufy menegaskan bahwa reshuffle kabinet kali ini erat kaitannya dengan problematika ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
Beban pajak, lapangan pekerjaan yang sulit diakses, hingga naiknya harga kebutuhan pokok menjadi faktor yang menekan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah.
Ia memaparkan bahwa riset yang dilakukan The Republic Institute, lembaga riset yang ia dirikan, menunjukkan adanya penurunan kepuasan masyarakat terhadap kinerja Prabowo–Gibran, bahkan penurunan itu terbilang cukup drastis.
“Kami melakukan riset di bulan Januari, hasilnya tingkat kepuasan publik mencapai 82 persen. Namun sekarang tinggal 71 persen, ada penurunan sekitar 11,8 persen,” ungkapnya
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi salah satu alasan kuat Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet.
Publik menilai kinerja pemerintah dalam sektor ekonomi masih belum mampu menjawab keresahan, sehingga pergantian menteri dianggap sebagai upaya penyegaran.
“Kalau dilihat, paket menteri ekonomi memang banyak menuai sorotan. Maka wajar kalau presiden memilih untuk menggantinya,” lanjut Dr Sufyanto.
Selain itu, ia juga menyoroti dampak politik dari langkah ini. Walau tidak sepenuhnya terkait stabilitas politik, reshuffle kabinet dapat dimaknai sebagai cara pemerintah menjaga kepercayaan masyarakat.
Bagi partai-partai pengusung, langkah tersebut sekaligus menjadi sinyal bahwa setiap kader yang diberi amanah harus bekerja maksimal, sebab presiden dapat sewaktu-waktu menggantinya bila dinilai tidak optimal.
Antara Strategi Politik dan Respons Publik
Di sisi lain, Dr Sufyanto menilai reshuffle kabinet juga dapat dibaca sebagai strategi politik.
Bagi Presiden Prabowo, perombakan ini adalah bentuk komunikasi politik yang menegaskan keseriusan pemerintah dalam menjawab kritik dan protes masyarakat.
“Mengapa menteri yang diganti kelihatan berhubungan dengan Pak Jokowi? Nah itu terserah publik yang menilai,” terang Dr Sufy.
Misalnya saja Menteri Koperasi, Budi Arie yang memang sejak diangkat banyak menimbulkan polemik di masyarakat, dan penggantinya murni kader Gerindra.
Menurut Dr Sufy, memang terlihat bahwa Presiden Prabowo ingin reshuffle itu setidaknya bisa menjawab keresahan publik yang menilai kinerja Prabowo itu menurun.
“Protes itu bagian dari ketidakpuasan publik terhadap kinerja. Reshuffle bisa jadi bentuk respon pemerintah untuk meningkatkan tanggung jawab kepada masyarakat,” ucapnya
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa reshuffle kabinet tidak bisa dianggap sebagai solusi instan.
Masyarakat masih menunggu apakah para menteri baru mampu menunjukkan kinerja nyata dalam 100 hari pertama. Jika tidak, gelombang protes dan ketidakpuasan publik berpotensi kembali muncul.
“Saya lihat gerakan masyarakat dan mahasiswa tidak akan berhenti. Karena jika publik sudah bergerak,maka tokoh-tokoh tidak akan kuat” tutur Doktor lulusan Unair itu.
Dr Sufyanto juga menyoroti pentingnya menghindari ketergantungan negara pada individu tertentu.
Menurutnya, pergantian pejabat dalam pemerintahan adalah hal wajar, bahkan diperlukan agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
“Negara tidak boleh bergantung pada satu orang. Kalau ada yang tidak cocok, wajar saja diganti. Yang penting kepercayaan publik tetap dijaga,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menilai bahwa reshuffle kabinet kali ini belum tentu berkaitan langsung dengan persiapan Pemilu mendatang.
Menurutnya, terlalu dini jika langkah ini dikaitkan dengan kepentingan elektoral.
“Kalau pemilu masih lama, lebih tepat melihat reshuffle ini sebagai pemulihan kinerja pemerintahan dan meningkatkan kepercayaan publik,” pungkasnya.
Ia menuturkan bahwa yang digarisbawahi dalam reshuffle ini adalah bagaimana publik bisa merasakn dampak positif terhadap kehidupannya.
Penulis: Romadhona S.