Fbhis.umsida.ac.id – Kemajuan teknologi internet memberikan berbagai kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia periklanan digital. Google AdWords, salah satu platform periklanan terbesar di dunia, menawarkan akses luas kepada pengiklan untuk menjangkau audiens target mereka.
Namun, di balik manfaat ini, muncul ancaman siber berupa phishing, yang semakin berkembang pesat. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Tanzil Multazam dan Rifqi Ridlo Pahlevy dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo membahas tanggung jawab hukum Google AdWords terkait dengan iklan phishing yang muncul di platform tersebut.
Phishing: Ancaman Terselubung di Era Digital
Phishing adalah salah satu metode kejahatan siber yang dirancang untuk mencuri informasi sensitif seperti data pribadi, kata sandi, hingga detail kartu kredit. Modus operandi yang sering digunakan adalah menciptakan situs palsu yang menyerupai situs asli. Situs-situs ini kerap tampil melalui iklan berbayar di Google AdWords, memberikan kesan bahwa situs tersebut dapat dipercaya. Akibatnya, banyak pengguna internet tanpa sadar memberikan informasi sensitif mereka kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menurut data dari PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), laporan phishing di Indonesia meningkat drastis pada tahun 2022, dari 3.180 kasus di triwulan pertama menjadi 5.579 kasus di triwulan kedua. Tren ini mengindikasikan bahwa phishing adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih, baik di tingkat nasional maupun global.
Baca juga: Digitalisasi Akuntansi: Solusi bagi Skeptisisme UMKM terhadap Standar Keuangan
Tanggung Jawab Google AdWords dalam Pencegahan Phishing
Sebagai platform periklanan, Google AdWords menyediakan layanan yang memungkinkan pengguna untuk mempromosikan produk atau layanan mereka secara luas. Untuk memastikan keamanan, Google telah menerapkan sistem penyaringan iklan, baik otomatis maupun manual. Meski demikian, sistem ini belum sepenuhnya mampu mencegah munculnya iklan phishing. Penelitian menemukan beberapa alasan utama di balik kegagalan ini, antara lain:
- Penggunaan domain palsu yang menyerupai situs asli, sehingga sulit dibedakan oleh sistem penyaringan.
- Kesalahan dalam mekanisme penyaringan otomatis maupun manual.
- Teknologi phishing yang terus berkembang, sehingga dapat mengelabui filter yang ada.
Kelemahan-kelemahan tersebut menunjukkan bahwa meskipun Google memiliki kebijakan ketat terkait konten iklan, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.
Aspek Hukum yang Mengatur Phishing
Indonesia memiliki kerangka hukum yang jelas untuk menangani kejahatan phishing. Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 28 Ayat 1 mengatur bahwa penyebaran informasi palsu yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik dapat dikenai sanksi pidana hingga 6 tahun penjara atau denda maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mengatur hukuman bagi pelanggaran terkait data pribadi. Pelaku yang memanfaatkan data pribadi tanpa izin dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara atau denda hingga Rp5 miliar.
Meski demikian, sanksi administratif yang diterapkan Google, seperti penangguhan akun pengiklan yang melanggar, dinilai belum cukup memberikan efek jera atau mencegah pelanggaran serupa. Untuk mengatasi masalah ini, penelitian menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil oleh Google AdWords dan pihak terkait:
- Memperkuat kerja sama internasional dan nasional: Google dapat bekerja sama dengan badan pengawas periklanan dan otoritas hukum untuk meningkatkan efektivitas penyaringan.
- Peningkatan teknologi deteksi: Mengembangkan teknologi penyaringan yang lebih canggih dan mampu mengidentifikasi situs phishing dengan lebih akurat.
- Penegakan kebijakan yang lebih ketat: Memberikan sanksi yang lebih tegas kepada pengiklan yang melanggar, seperti denda atau pelarangan permanen dari platform.
Selain itu, edukasi masyarakat juga menjadi kunci penting dalam mencegah phishing. Pengguna internet diharapkan lebih berhati-hati ketika mengakses situs dari iklan yang tidak dikenal. Laporan tentang situs phishing juga dapat disampaikan melalui platform seperti IDADX (Indonesia Anti-Phishing Data Exchange) atau organisasi internasional seperti APWG (Anti-Phishing Working Group).
Tanggung Jawab Platform Digital
Kasus ini menyoroti peran platform digital bukan hanya sebagai penyedia layanan, tetapi juga sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap konten yang ditampilkan. Sebagai pemain utama di industri periklanan digital, Google memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap iklan yang ditampilkan bebas dari ancaman seperti phishing.
Iklan phishing di Google AdWords menunjukkan bahwa ancaman kejahatan siber membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk platform periklanan, pengguna, dan regulator. Google perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan keamanan, termasuk memperketat proses verifikasi iklan dan meningkatkan teknologi deteksi phishing. Di sisi lain, masyarakat juga perlu lebih waspada dalam mengakses informasi di internet. Dengan kerja sama semua pihak, risiko kejahatan phishing dapat diminimalkan, sehingga pengguna internet dapat beraktivitas dengan lebih aman.
Sumber: Google’s Legal Responsibility in Displaying Phishing Ads Through Google AdWords
Penulis: Indah Nurul Ainiyah